This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Syi'ir Tanpo Waton "Sya'ir yang menyentuh qolbu"

KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Syi'ir Tanpo Waton,
Sya'ir yang sangat menyentuh qolbu, walaupun saya tidak begitu mengerti bahasa jawa tapi pertama kali mendengar sya'iran ini seperti ada yang beda. Hati terasa begitu tentram seperti badan yang sedang kepanasan kemudian disiram dengan air yang begitu segar. Dan pada akhirnya saya pun menjadi tertarik untuk menghafalnya. KH Abdurrahman Wahid atau yang telah terkenal dengan sebutan Gus Dur, beliau adalah Presiden RI ke 4 sekaligus Guru bangsa. Secara kasat mata beliau memang terlihat seperti orang biasa,tapi setelah saya tahu beliau bukan orang biasa. Banyak orang-orang lain yang begitu mengaguminya termasuk saya. Beliau bagi saya adalah SANG INSPIRATOR...

Berikut saya tulis sya'iran beliau yang dikenal dengan Syi'ir Tanpo Waton. Dan bagi yang mau download, saya juga mencantumkan linknya.

استغفر الله ربّ البرايا # استتغفر الله من الخطا يا
ربّي زدني علما نافعا # ووفّقني عملا صالحا

يا رسول الله سلام عليك # يا رفيع الشان و الدرج
عطفة يا جيرة العالم # يا أهَيل الجود والكرم

Ngawiti ingsun nglaras Syiiran
Kelawan muji maring Pangeran
Kang paring rahmat lan kenikmatan
Rino wengine tanpo pitungan 2x

Duh bolo konco priyo wanito
Ojo mong ngaji Syare'at bloko
Gur pinter ndongeng, nulis lan moco
Tembe mburine bakal sengsoro 2x

Akeh kang apal Qur'an haditse
Seneng ngafirke marang liyane
Kafire dewe dak di gatekke
Yen isih kotor ati akale 2x

Gampang kabujuk nafsu angkoro
Ing pepaese gebyare ndunyo
Iri lan meri sugihe tonggo
Mulo atine peteng lan nisto 2x

Ayo sedulur jo nglaleake
Wajibe ngaji sak pranatane
Nggo ngandelake iman tauhite
Baguse sangu mulyo matine 2x

Kang aran soleh bagus atine
Kerono mapan seri ngelmune
Laku thoriqot lan ma'rifate
Ugo hakikot manjing rasane 2x

Al-Qur'an Qodim wahyu minulyo
Tanpo tinulis iso diwoco
Iku wejangan guru waskito
Den tancepake ing njero dodo 2x

Kumantil ati lan pikiran
Mrasuk ing badan kabeh jeroan
Mu'jizat Rosul dadi pedoman
Minongko dalan manjinge iman 2x

Kelawan Allah kang moho suci
Kudu rangkulan rino lan wengi
Ditirakati diriyadhohi
Dzikir lan suluk jo nganti lali 2x

Uripe ayem rumongso aman
Dununge roso tondo yen iman
Sabar narimo najan pas pasan
Kabeh tinakdir saking pengeran 2x

Kelawan konco dulur lan tonggo
kang podo rukun ojo ngasio
Iku sunahe Rosul kang mulyo
Nabi Muhammad panutan kito 2x

Ayo nglakoni sakabehane
Allah kang bakal ngangkat derajate
Senajan ashor toto dhohire
Ananging mulyo maqom drajate 2x

Lamun palastro ing pungkasane 
Ora kesasar roh lan sukmane
Den gadang Allah swargo manggone
Utuh mayite ugo ulese 2x


يا رسول الله سلام عليك # يا رفيع الشان و الدرج
عطفة يا جيرة العالم # يا أهَيل الجود والكرم

Silahkan DOWNLOAD Syi'ir Tanpo Waton.
Maaf jika ada kesalahan dalam penulisan...

Humor Gus Dur "Tiga Presiden naik pesawat"


Gus Dur coba cari suasana di pesawat RI-01. Kali ini dia mengundang Presiden AS dan Prancis terbang bersama buat keliling dunia. Seperti biasa, setiap presiden selalu ingin memamerkan apa yang menjadi kebanggaan negerinya.

Tidak lama terbang, Presiden Amerika, Clinton mengeluarkan tangannya dan sesaat kemudian dia berkata: "Wah kita sedang berada di atas New York!"

Presiden Indonesia ( Gus Dur): "Lho kok bisa tau sih?"

"Itu, patung Liberty kepegang!", jawab Clinton dengan bangganya.

Tidak mau kalah, Presiden Prancis Jacques Chirac, ikut menjulurkan tangannya keluar. "Tahu nggak? Kita sedang berada di atas kota Paris!", katanya dengan sombongnya.

Presiden Indonesia: "Wah, kok bisa tau juga?"

"Itu... menara Eiffel kepegang!", sahut presiden Prancis tersebut.

Giliran Gus Dur yang menjulurkan tangannya keluar pesawat. "Wah... kita sedang berada di atas Tanah Abang!" teriak Gus Dur.

"Lho kok bisa tau sih?" tanya Clinton dan Chirac heran.

"Ini, jam tangan saya ilang," jawab Gus Dur kalem.

Misteri Gus Dur

Gus Dur dan Gus Maksum Lirboyo

(Alm) KH. Nurcholis Madjid (Cak Nur) sambil bercanda pernah berkata: “Hal yang misterius dan hanya Tuhan yang tahu, selain jodoh, maut, dan rezeki, adalah Gus Dur”.
(Alm) Gus Dur memang begitu misterius, hingga sikap, ucapan dan kebijakan beliau sering disalah pahami orang lain, bahkan oleh sebagian warga Nahdhiyin (NU) sendiri. Apalagi musuh-musuh beliau menilai bahwa ucapan dan sikap beliau tidak masuk akal, malah mereka "men-cap" beliau sebagai orang gila.
Namun belakangan terlebih setelah Gus Dur wafat, sikap dan ucapan beliau yang dianggap tidak masuk akal ternyata terbukti benar. Seperti yang diceritakan para tokoh Vatikan, saat Gus Dur menjabat sebagai ketua PBNU, beliau mengunjungi Vatikan. Dan sambil guyon Gus Dur berkata bahwa beliau akan datang lagi ke Vatikan tapi tidak sebagai ketua PBNU tapi sebagai seorang Presiden. Ucapan Gus Dur hanya dianggap candaan oleh para tokoh Vatikan. Dan ternyata pada kunjungan selanjutnya membuat tokoh Vatikan terkaget-kaget, Gus Dur memang datang sebagai seorang Presiden. Itulah mengapa beliau dijuluki SANTO oleh para tokoh Vatikan.

Saat Gus Dur diminta pertanggung jawaban oleh DPR, dengan gagah berani beliau datang ke gedung bundar dan menghadapi anggota DPR. Dihadapan mereka semua dengan lantang Gus Dur mengatakan bahwa DPR seperti Taman Kanak-kanak.
Saat itu banyak anggota DPR yang tersinggung dan menuding Gus Dur gila. Tapi pada kenyataan yang kita lihat, ternyata benar apa yang dikatakan Gus Dur. Anggota DPR senang ketika jalan-jalan dan TIDUR ketika sidang, senang rebutan proyek, hobbynya meminta-minta dari ‪#‎papa_minta_saham‬, ‪#‎mama_minta_softex‬ dan sekarang ‪#‎si_papa_malah_minta_kasur‬ dan masih banyak lagi.

Pak Sutarman adalah ajudan Gus Dur, dan Gus Dur pernah berkata pada Pak Sutarman: "Nanti Pak Tarman akan jadi Kapolda Metro setelah itu Pak Tarman akan menjadi Kapolri." Pada saat itu Pak Sutarman hanya tertawa karena mengganggap itu tidak akan terjadi, bahkan bermimpi menjadi Kapolri-pun belum pernah. Dan tepat pada tanggal 23 Oktober 2013, Pak Sutarman resmi dilantik menjadi Kapolri oleh Presiden SBY.

Pada 8 Januari 2006, Gus Dur pernah mampir ke rumah dinas walikota Solo untuk bertemu dengan beberapa tokoh agama. Saat itu Bung Joko baru 6 bulan menjabat walikota. Dan pada hari itu Gus Dur berkata: “Siapapun yang dikehendaki rakyat, termasuk Pak Jokowi ini, kalau dia jadi Wali Kota yang bagus, kelak juga bisa jadi presiden." Bung Joko hanya senyam-senyum pada waktu itu.

Di pagi hari, Gus Dur meminta Kang Said (KH. Aqil Siradj) untuk menyediakan air putih dan roti tawar untuk sarapan. Lalu Gus Dur meminta Kang Said untuk membacakan kitab Ihya' Ulumuddin. Baru dibacakan dua paragraf Gus Dur sudah mendengkur. Lima menit kemudian beliau terbangun dan berkata pada Kang Said: "Sampean akan menjadi ketua PBNU di atas usia 55 tahun". Pada Muktamar NU ke 30, Kang Said diusia 46 tahun mencalonkan diri menjadi ketua PBNU bersaing dengan KH. Hasyim Muzadi. Dan yang terpilih pada saat itu adalah KH. Hasyim. Dan pada muktamar NU ke 32, Kang Said mencalonkan diri lagi menjadi ketua PBNU dan beliau terpilih tepat diusia 56 tahun.

Setelah gagal menjadi gubernur Bangka Belitung, Koh Ahok bertemu Gus Dur dan Gus Dur berkata: " Kamu akan menjadi gubernur".
Guru Besar UGM Profesor Suhardi, pernah menjadi Dirjen di Departemen Kehutanan di era Gus Dur. Di ruang ICCU berapa hari sebelum Gus Dur wafat, Gus Dur berkata pada Pak Hardi: “Pak Hardi saya titip bangsa ini. Tolong ikut dikawal Pansus Century di DPR. Besok Kamis saya akan pulang ke Tebuireng dengan diantar banyak orang. Saya sudah ditunggu ayah saya di sana,"
Dan masih banyak lagi kisah misterius tentang Gus Dur. Dan yang membuatku tertawa adalah perkataan Gus Dur pada Fidel Castro: "Saya menjadi presiden dipilih oleh orang-orang gila". Sekarang kita saksikan sendiri bagaimana perilaku mereka yang memilih Gus Dur pada masa itu.

Manaqib Kyai Cholil Bisri Rembang



FRAGMEN I: SANTRI MBELING DI LIRBOYO

Sewaktu mondok di Lirboyo, partner mbeling terdekat Kyai Kholil adalah Gus Mik (Kyai Hamim Jazuli). Pernah, ditengah pelajaran Madrasah, Santri Kholil yang tempat duduknya didekat jendela, disapa Gus Mik dari luar.
“Keluar, Gus!” kata Gus Mik, setengah berbisik.
“Ada apa?”
“Nonton bioskop… ada filem bagus!”
Santri Kholil ragu,
“Masih pelajaran ini…”
“Lompat saja!”
Ketika guru menghadap papan tulis, Santri Kholil melompat keluar dari jendela. Santri-santri lain tak berani menegur tingkah gus-gus itu.
Jauh di belakang hari, ketika Gus Mik sudah melejit reputasinya sebagai seorang wali keramat yangkhoriqul ‘aadah, ditengah-tengah Konbes NU di Pondok Pesantren Ihya ‘Ulumuddin, Kesugihan, Cilacap, seorang kyai Kediri yang dulunya juga anggota geng santri mbeling di Lirboyo mendatangi Kyai Kholil di penginapan.
“Dapat salam dari Gus Mik, Gus”.
“Lhah, dia nggak ikut Konbes?”
“Datang sih…”
“Mana orangnya? Kok nggak nemuin aku?”
“Nggak mau. Sampeyan tukang nggasak (tukang meledek) sih… kalau sampeyan ledek, bisa-bisa badar (gagal) kewaliannya…”
***


FRAGMEN II: WALI ANYAR (WALI BARU)

Suatu kali, Mbah Lim (Kyai Muslim Rifa’i Imam Puro, Klaten) yang terkenal wali, datang mengunjungi Gus Mus. Seorang pendhereknya (santri yang mengikutinya) diutus untuk memberi tahu Kyai Kholil.
“Mbah Lim ada di rumah Gus Mus, ‘Yai”, kata si pendherek, “panjenengan dimohon menemui…”
“Nggak mau! Sama-sama walinya kok!”
Setelah dilapori, Mbah Lim segera beranjak menemui Kyai Kholil. “Sesama wali” berangkulan sambil tertawa-tawa.
“Wali anyar… wali anyar…”, kata Mbah Lim, “bodong ‘ki… bodong ‘ki…”
***


FRAGMEN III: VOTING

Konbes NU di Bandarlampung kebingungan memilih Rais ‘Aam baru. Kyai Achmad Shiddiq telah wafat, Kyai Ali Yafie mengundurkan diri. Kyai Yusuf Hasyim, calon terkuat, didelegitimasi keponakannya sendiri.
“Pak Ud itu bukan ulama, tapi zu’ama”, kata Gus Dur, “beliau termasuk santri korban revolusi… ngajinya kocar-kacir!”
Konbes pun kehilangan arah.
Dikerumuni wartawan, Kyai Kholil melontarkan statement,
“Istikhoroh saja!”
“Bagaimana caranya?” wartawan bertanya.
“Pilih 40 orang kyai ahli riyadloh (tirakat). Beri kesempatan mereka beristikhoroh. Sesudah itu, saling mecocokkan isyaroh yang didapat masing-masing…”
Wartawan tak puas,
“Kalau diantara 40 kyai itu hasil istikhorohnya berbeda-beda bagaimana?”
Jawaban Kyai Kholil mantap:
“Ya divoting!”

_____________________________________________
Oleh: KH. Yahya Cholil Staquf (Pernah menjadi Juru Bicara Presiden KH. Abdurrahman Wahid . Saat ini sebagai Katib Syuriah PBNU dan Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang.

Sumber: pustakaulamanusantara

Gus Dur "Angkatan udara juga ngga bisa terbang"


Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur bercerita asistennya yang bertugas di Istana Negara berlatarbelakang anggota TNI Angkatan Laut. Namun, belakangan diketahui ia tidak bisa berenang.

Dia sering digoda dan diusili oleh para ajudan Presiden. Ada saja keusilan yang membuatnya kebat-kebit dag-dug-dug di hadapan Gus Dur. Teman-temannya pun makin senang mengerjainya.

"Lapor Pak Presiden, ini lho ajudan bapak, masak TNI Angkatan Laut kok nggak bisa berenang?" kata mereka pada Gus Dur.

Otomatis saja, ajudan TNI AL tersebut langsung tegang, melotot, tak menyangka bila ada yang bertindak nekat lapor hal-hal sensitif

Namun Presiden Gus Dur malah merespons dengan nada datar-datar saja. Gus Dur menjawab, "Lha itu, ada dari Angkatan Udara juga nggak bisa terbang kok!"

Dan orang-orang yang ada di sekitar Gus Dur tertawa terbahak-bahak dengan cerita itu.

Sumber crita Gus Mesir via Ust. Abdu L Wahab.

SESATKAH BERTAWASUL KEPADA ORANG SHOLIH YANG TELAH WAFAT???


Salah satu amaliah ASWAJA yg paling keras mendapatkan perlawanan dari Ahlul Bid'ah Dholalah (wahabi) adalah BERTAWASUL kepada org sholih yg telah wafat ketika berdoa kepada Alloh swt.
.
Bahkan ada yg sangat extrim sampai mensesat sesatkan dan mengkafir kafirkan terhadap org yg BERTAWASUL kepada org sholih yg telah wafat ketika berdoa kepada Alloh swt..
.
Mereka berdalih bahwa BERTAWASUL kepada org sholih yg telah wafat ketika berdoa kepada Alloh swt tidak ada tuntunannya dari Rosululloh saw, dan mnrt mereka setiap amaliah ibadah yg tdk ada tuntunan dari Rosululloh saw maka amaliah ibadah tsb tertolak dan termasuk daripada perbuatan BID'AH DLOLALAH.
.
Mensikapi kondisi tsb berikut ini saya kutipkan Hadits Rosululloh saw yg berkenaan dg soal BERTAWASUL kepada org sholih yg telah wafat ketika berdoa kepada Alloh swt.
.
Abu Nu’aimah dalam kitab al-Ma’rifah, at-Tabrani dan Ibnu Majjah mentakhrij hadits:
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال لمّا ماتت فاطمة بنت أسد أم علي بن ابي طالب رضي الله عنهما -وذكر الحديث- وفيه: أنه صلى الله عليه وسلم اضطجع في قبرها وقال: الله الذى يحي ويميت وهو حيّ لايموت اغفر لأمّي فاطمة بنت أسد ولقنها حجتها ووسّع مدخلها بحقّ نبيّك والأنبياء والمرسلين قبلي فإنك أرحم الراحمين
Dari Anas bin Malik ra, ia berkata, “ketika Fatimah binti Asad ibunda Ali bin Abi Thalib ra meninggal, maka sesungguhnya Nabi SAW berbaring diatas kuburannya dan bersabda:
“Allah adalah Dzat yg Menghidupkan dan mematikan. Dia adalah Maha Hidup, tidak mati. Ampunilah ibuku Fatimah binti Asad, ajarilah hujjah (jawaban) pertanyaan kubur dan lapangkanlah kuburannya dengan hak Nabi-Mu dan nabi-nabi serta para rasul sebelumku, sesungguhnya Engkau Maha Penyayang.”
Perhatikanlah sabda Rosululloh saw yang berbunyi:
بحقّ الأنبياء قبلي
“Dengan hak para nabi sebelumku”.
Logikanya para nabi sebelum Kanjeng Nabi Muhammad saw tentulah para nabi yg telah wafat, tetapi Rosululloh saw dalam doanya justru bertawasul kepada para nabi yg telah wafat tsb.
.
Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa BERTAWASUL kepada org sholih yg telah wafat ketika berdoa kepada Alloh swt. bukanlah perbuatan Bid'ah Dlolalah sebagaimana yg sering dituduhkan oleh org org Wahabi kepada Aswaja selama ini, tetapi amaliah tersebut justru sebagai wujud ummat islam dalam rangka mengikuti atas apa yg telah dituntunkan oleh Rosululloh saw.
.
Maka org yg membid'ah bid'ahkan Aswaja yg BERTAWASUL kepada org sholih yg telah wafat ketika berdoa kepada Alloh swt, justru mereka para penuduhlah sebagai pelaku BID'AH DLOLALAH yg sebenar benarnya krn telah mengingkari atas apa yg telah dituntunkan oleh Rosululloh saw.
.
Demikian sekilar paparan tentang TAWASUL kpd org org sholih yg telah wafat ketika berdo'a kepada Alloh swt.
.
Semoga ada manfaatnya.

Sumber: fb Nashrul Mukmin

Islam yang ramah


Kembali ke ruh dakwah, bukan lagi al-ghazwul fikri
Kenapa mereka yang ikut pengajian model halaqah menjadi begitu mudah reaktif menyerang pihak yang berbeda? Bukankah dakwah itu mengajak, bukan mendepak; dakwah itu merangkul bukan memukul?
Salah satu sebabnya adalah materi al-ghazwul fikri yang diajarkan di berbagai kelompok pengajian. Maksudnya adalah adanya perang pemikiran yang terjadi antara umat Islam dengan pihak yang hendak meruntuhkan Islam. Ditengarai, dalam konteks al-ghazwul fikri ini, banyak tokoh, ulama dan cendekiawan Islam sendiri yang sadar atau tidak sadar telah digunakan pihak musuh untuk meracuni umat Islam dengan berbagai pemikiran yang menyimpang. Mereka itu adalah musuh dalam perang pemikiran ini. Begitu inti materi yang diajarkan.
Efek negatif dari materi ini maka mereka yang sudah kena indoktrinasi menganggap mereka yang berbeda pemahaman akan al-Quran dan Hadis dipandang sebagai musuh yang mau merusak Islam. Kita lihat hasil doktrinasi ini dari mulai sangat percaya dengan teori konspirasi yahudi, kemudian tidak segan-segan menyerang para ulama dan tokoh Islam, menyeleksi berbagai referensi atau bacaan yg dianggap menyimpang, menghentikan diskusi/seminar yg dianggap bertentangan dengan Islam, mendiskreditkan ormas Islam dan lembaga pendidikan Islam yang tidak sesuai dengan mereka, sampai dengan memfitnah dan memberi label kafir, sesat, liberal dst nya kepada pihak yang berbeda paham.
Karena konteksnya adalah "perang" maka berlakulah hukum perang meski hanya di level abstrak (bukan fisik). Ini yang menyebabkan kawan-kawan kita itu menjadi reaktif, agresif dan provokatif. Memfitnah dianggap halal. Mencaci maki dianggap wajar. Menghack atau mengambil alih akun media sosial atau email dianggap bagian dari ghanimah peperangan. Pendek kata, bagi mereka, ini adalah era perang pemikiran. Masalah dakwah dan akhlak menjadi urusan belakangan.
Sudah saatnya kita tinjau ulang indoktrinasi al-ghazwul fikri yang kebablasan ini. Mari kita kembali ke ruh al-da'wah yang hakiki. Kalau konteksnya dakwah, maka perbedaan bukan berarti bermusuhan. Kebenaran harus dipeluk dan dirangkul. Yang belum benar diajak ke jalan dakwah baik dengan hikmah, nasehat yg baik ataupun diskusi yang argumentatif, sesuai petunjuk al-Qur'an.
Inilah bahasa dakwah. Islam yang ramah bukan marah-marah. Islam yang menebar rahmat bukannya malah enteng melaknat orang lain. Mari kita kembali gunakan kosa kata dakwah, bukan lagi menggunakan kaca mata 'perang pemikiran' yang parahnya justru diarahkan kepada sesama umat Islam.

Tabik,
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama
Australia-New Zealand

Nasehat Gus Dur

NASEHAT GUS DUR....

Bila engkau anggap solat
itu hanya penggugur kewajiban, maka kau akan terburu-buru mengerjakannya.
Bila kau anggap solat hanya sebuah kewajiban, maka kau tak akan menikmati hadirnya Allah saat kau mengerjakannya..
Anggaplah solat itu pertemuan yang kau nanti dengan Tuhanmu.
Anggaplah solat itu sebagai cara terbaik kau bercerita dengan Allah swt.
Anggaplah solat itu sebagai kondisi terbaik untuk kau berkeluh kesah dengan Allah swt.
Anggaplah solat itu sebagai seriusnya kamu dalam bermimpi.
Bayangkan ketika "azan berkumandang", tangan Allah melambai ke depanmu untuk mengajak kau lebih dekat dengan-Nya.
Bayangkan ketika kau" takbir", Allah melihatmu, Allah senyum untukmu dan Allah bangga terhadapmu.
Bayangkanlah ketika "rukuk", Allah menopang badanmu hingga kau tak terjatuh, hingga kau rasakan damai dalam sentuhan-Nya.
Bayangkan ketika "sujud", Allah mengelus kepalamu. Lalu Dia berbisik lembut di kedua telingamu: "Aku Mencintaimu hambaKu".
Bayangkan ketika kau "duduk di antara dua sujud", Allah berdiri gagah di depanmu, lalu mengatakan : "Aku tak akan diam apabila ada yang mengusikmu".

Bayangkan ketika kau memberi "salam", Allah menjawabnya, lalu kau seperti manusia berhati bersih setelah itu...

Sumber: fb jalansufi

Satu Lagi Guru Besar Timur Tengah yang Ingatkan Indonesia Akan Bahaya Wahabi


Satu persatu para ulama dan tokoh timur tengah melakukan testimoni tentang bahaya kelompok Wahabi. Maklum saja, mereka telah merasakan bagaimana ajaran Wahabi yang dikenal dengan ‘takfiri’  telah menjadi penyebab porak-porandanya  beberapa negara Islam di Timur Tengah.


Tidak hanya itu, seakan tak peduli mereka dituduh syiah seperti kebiasaan Wahabi selama ini, para tokoh-tokoh besar Timur Tengah itu juga mengingatkan agar negara-negara berpenduduk Muslim termasuk Indonesia agar lebih waspada dan jangan membiarkan ajaran berbahaya kelompok Wahabi tumbuh berkembang di dalamnya.

Umat Islam Indonesia harus belajar dari situasi yang terjadi di Timur Tengah. Jangan sampai kondisi damai yang ada di negara ini justru rusak karena hadirnya ajaran menyimpang, terutama dari kelompok Wahabi.

Peringatan ini disampaikan Alhabib Syekh Samir bin Abdurrahman Al-Khauli Al-Rifai Al-Husaini saat mengisi materi Daurah Aswaja Internasional di gedung PWNU Jawa Timur, Ahad, (13/3).

“Jaga Indonesia dari pengaruh ajaran yang menyimpang dari Ahlussunnah wal Jamaah. Kita jaga teguh ajaran yang penuh keteduhan ini jangan sampai diganggu dengan aliran ekstrim,” katanya.

Dengan menggunakan bahasa Arab, Syekh Samir menjelaskan, Islam menyebar di negeri ini tanpa kekerasan apalagi pertumpahan darah. “Islam datang ke Indonesia lewat perdagangan. Dan karena akhlak pembawanya akhirnya menimbulkan simpati sehingga masyarakat berbondong-bondong memeluk Islam,” ungkapnya.

Guru besar asal Lebanon ini kembali mengingatkan jangan sampai di negeri ini terjadi pertumpahan darah lantaran kemunculan aliran yang gemar mengafirkan antarkelompok seperti yang dilakukan Wahabi.

“Tugas (menebar kedamaian) ini ada di pondok pesantren masing-masing peserta (dauroh) untuk saling bersinergi menjaga kondisi negeri agar tetap damai,” terangnya. 

Oleh karena itu, syekh yang datang dengan mengenakan farwa atau baju kebesaran berwarna kuning emas tersebut mengingatkan peserta untuk menjaga diri agar tidak mudah terpengaruh golongan Wahabi yang bertentangan dengan Aswaja. “Kita harus selalu mengingatkan akan bahaya mereka (Wahabi),” katanya dengan suara lantang.

Sebagai bukti, Syekh Samir memaparkan bahwa dalam sejarahnya mereka mengaku dirinya sebagai Salafi atau pengikut ulama salaf. “Tapi pengakuan itu adalah dusta,” sergahnya. Karena dalam perjalanannya, ketika kelompok ini menguasai sebuah negara dan akan menyatukan dalam sebuah barisan, padahal yang dilakukan adalah mengakafirkan bahkan membunuh kelompok muslim lain.

“Apa yang dilakukan mereka adalah memorak-porandakan sebuah negara dan kemanusiaan,” katanya.

Kepada negara dan kawasan yang dimasuki, lanjut Syekh Samir, Wahabi akan menebarkan bom, bunuh diri, takfir atau mengafirkan siapa saja yang tidak sepaham, lanjutnya.

“Untuk di Indonesia, Wahabi kerap mendirikan pesantren, lembaga kursus komputer yang di dalamnya mendoktrinkan ajaran ekstrim yang justru bertentangan dengan Aswaja,” jelasnya.

Karena itu Syekh Samir menyarankan agar jangan sampai mempercayakan pendidikan dan keterampilan generasi muda kepada mereka yang justru nantinya akan menentang Aswaja.

Di akhir ceramahnya, syekh mengajak peserta untuk menirukan kalimat yang diucapkan terkait tauhid, bahwa tiada sesuatu yang menyerupai-Nya (Allah). “Allah ada tanpa tempat,” pungkasnya dengan bahasa Indonesia yang fasih.

Sumber NU Online



Ketua Umum PBNu KH Said Aqil Siroj mengkritik keras sikap keberagamaan di Timur Tengah yang menyebabkan mayoritas penduduk Muslim di sana dirundung konflik yang berkepanjangan. Menurutnya, faktor utama dari masalah tersebut adalah masih tidak harmonisnya hubungan antara nasionalisme (wathaniyah) dan Islam di Timur Tengah.

Ia menyampaikan hal tersebut di hadapan para tamu ulama dari mancanegara dalam International Summit of Moderate Islamic Leaders (Isomil) atau pertemuan internasional para pemimpin Islam moderat di di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Senin (9/5). Menurutnya, cinta tanah air mampu mempersatukan berbagai kelompok meski berbeda paham dan agamanya.

Ketum PBNU juga mengungkapkan keprihatinannya dengan kekacauan di Timur Tengah yang menampilkan adanya perang saudara sesama Muslim, bahkan dengan sangat sadis, seolah-olah Islam bukan agama kemanusiaan. "Wahai orang Arab, kenapa kalian berat sekali mengatakan Islam adalah agama kemanusiaan? Karena di negeri kalian sendiri, masih terjadi perang saudara," ujarnya.

Kang Said, sapaan akrabnya, mengatakan, di kebanyakan negara Islam dan Arab telah terjadi polarisasi antara agama dan nasionalisme sehingga kita lihat ahli agama biasanya spirit nasionalismenya lemah. Ia menyebut, di satu sisi banyak ulama di Timur Tengah yang alim di bidang keislaman, seperti Sayyid Quthb, Said Hawa, dan Hasan al-Banna, tapi sayang tidak memiliki nasionalisme yang kuat. Sementara di sisi lain, para nasionalis juga banyak, namun tak memiliki semangat dan wawasan keislaman yang memadai.

"Tapi di Indonesia ada Syekh Muhammad Hasyim Asy'ari. Beliau alim, faqih, tapi juga sangat nasionalis," ujarnya dalam bahasa Arab disambut gemuruh tepuk tangan hadirin.

Doktor jebolan Universitas Ummul Qura Makkah ini lantas menjelelaskan tentang sejumlah pandangan Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy'ari. Pendiri NU ini, katanya, berhasil menyatukan masyarakat yang majemuk dengan konsep ukhuwah (persaudaraan) yang tak hanya sesama Islam, tapi juga sesama bangsa (ukhuwah wathaniyah) dan sesama manusia (ukhuwah basyariyah).

Hadratussyekh dinilai sukses menyebarluaskan Islam yang berwawasan kebangsaan di bumi Indonesia yang masih lestari hingga sekarang. Di sektor budaya, Hadratussyekh mendakwahkan Islam sembari tetap menghargai budaya dan kearifan lokal. Tradisi yang berkembang di masyarakat dibiarkan berjalan selama tak bertentangan dengan Islam.

Menurut Kang Said, Indonesia adalah contoh konkret dari wajah Islam yang mampu berhubungan saling menunjang dengan nasionalisme. Pancasila yang dirumuskan oleh mayoritas Muslim menjadi faktor penentu persatuan di negara kepulauan berpenduduk sekitar 250 juta jiwa ini terjalin.

"Indonesia bukan negara agama (diniyah) tapi Indonesia adalah negara beragama (mutamaddin)," tegasnya.

Isomil yang dihelat 9-11 Mei 2016 dibuka oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, Senin (9/5) ini. Turut hadir Rais Aam PBNU Kh Ma'ruf Amin, utusan PWNu seluruh Indonesia, dan delegasi ulama dari 35 negara.

Sumber: nu.or.id

NU Gudangnya Kiai Eksentrik, Khariqul adah dan Nyleneh


Wartaislami.Com ~ NU (Nahdlatul Ulama) adalah gudang kiai berperilaku eksentrik. Istilah populer untuk eksentrisitas di kalangan pesantren adalah khariqul `adah, sebuah kata dari bahasa Arab yang berarti "di luar kebiasaan". K.H. Abdurrahman Wahid, memakai istilah khariqul `adah untuk dua pengertian yang substantif (isi) dan yang permukaan (kulit). Gus Dur, pernah memakai istilah tadi untuk menggambarkan kenyentrikan almarhum Gus Mik (Kiai Hamim Jazuli), seorang ulama masyhur dari Pesantren Alfalah Ploso, Kediri.


Gus Mik dianggap oleh banyak orang memiliki kemampuan supranatural. Banyak kesaktian ditempelkan pada reputasinya. Banyak orang yang rela antre berlama-lama untuk bisa bertemu dengan Gus Mik dengan berbagai
pamrih: ingin banyak rezeki, mau naik pangkat, menyembuhkan penyakit, sampai hajat untuk memperoleh nama untuk bayi yang baru lahir. Semuanya —dipercaya oleh para pengagumnya— bisa dibantu oleh Gus Mik. Kemampuan supranatural itu, dalam istilah eskatologi pesantren dinamakan khariqul `adah. Kalangan awam memandang kemampuan semacam itu sebagai suatu keanehan.

Namun, di mata Gus Dur, kenyentrikan Gus Mik terletak pada kearifannya. Melalui transendensi keimanannya, ia tidak lagi melihat perbedaan orang lain, kearifan Gus Mik tidak lagi membedakan satu orang dengan yang lainnya, bahkan pada orang yang berbeda keyakinan sekalipun. Contohnya, Gus Mik bersikap membimbing kepada Ayu Wedhayanti, seorang Hindu yang kini telah berpindah hati ke Islam, seperti yang dilakukannya terhadap Machica Mochtar, penyanyi asal Ujung pandang yang muslim.

Kenyentrikan lain kiai yang memiliki citra rasa terhadap berbagai macam kopi itu telah menembus rambu-rambu baik dan buruk di mata kebanyakan manusia. Karena itu, Gus Mik rela melepas baju kekyaiannya dalam bergaul. Beliau menganggap seorang bajingan dan seorang suci adalah sama-sama manusia, dan manusia memiliki potensi untuk memperbaiki diri.

"Kerinduan realisasi potensi kebaikan pada diri manusia inilah yang menurut saya menjadikan Gus Mik supranatural," kata Gus Dur dalam buku Gus Dur Menjawab Tantangan Zaman, terbitan Kompas, Jakarta, 1999.

Para kiai yang mengundang pesona eksotisme itu hadir sejak awal sejarah NU hingga kini. K.H. Muhammad Kholil (1835-1925), pendiri pesantren yang kini bernama Syaikhona I di Desa Kademangan, Bangkalan, misalnya. Kiai yang dianggap moyang para kiai supanatural itu memiliki kisah mistis-simbolis berkaitan dengan sejarah pembentukan NU. Guru para kiai besar di Jawa itulah yang menjadi penginspirasi pembentukan NU lewat isyarat penyerahan sebatang tongkat pada 1924, dan sebuah tasbih setahun kemudian, yang dikirim lewat Kiai As'ad Syamsul Arifin, pendiri Pesantren Asembagus, Situbondo, kepada K.H. Hasyim Asy'ari, murid Kiai Kholil yang kemudian terkenal sebagai pendiri NU.

K.H. Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971), murid Kiai Kholil yang kemudian menjadi pengasuh Pesantren Tambakberas, Jombang, juga ketularan kelebihan gurunya. Salah seorang pendiri NU itu mempunyai andil dalam pencarian nama NU. Caranya pun lewat jalan spiritual. Konon, sebelum penentuan pilihan dari sejumlah nama, Kiai Wahab melakukan istikharah, salat untuk menentukan pilihan. Dalam suatu penglihatan mata batin, Kiai Wahab bertemu Sunan Ampel, seorang wali Jawa Timur, yang memberi blangkon dan sapu bulu ayam bergagang panjang. Tak jelas apa arti simbol itu. Tapi, menurut Hasib Wahab, anaknya, dalam penglihatan itulah Kiai Wahab memperoleh keputusan untuk menamakan organisasi kaum ulama tradisional itu dengan nama NU.

Kiai Wahab, yang sewaktu muda dijuluki macan oleh Kiai Kholil Bangkalan dalam sejarahnya selain jago berdebat politik juga dikenal sebagai pendekar silat.
Ada cerita, suatu waktu di Desa Tambakberas berlangsung pertandingan pencak silat. Semua jago silat di Jawa Timur konon turun gelanggang. Salah satu jagoannya Djojo Rebo, dikenal kebal oleh masyarakat setempat. Ketika hampir semua pendekar takluk padanya, seketika itu Djojo Rebo melihat kehadiran Kiai Wahab yang hanya sebagai penonton. Padahal Gus Dul, (panggilan akrab Kiai Wahab) dikenal jago silat.

Djojo Rebo pun menantangnya. "Gus Dul, ayo turun kemari. Keluarkan seluruh ajimat yang kamu bawa dari Mekkah, ayo kita bertarung," kata Djojo Rebo.
Kiai Wahab yang baru saja pulang dari pengembaraan mencari ilmua agama di tanah suci itu tak bisa menolak tantangan Djojo Rebo. Akhirnya mau tidak mau tantangan itu memaksa Kiai Wahab harus turun juga. Tidak kalah dengan Djojo Rebo sekilas Kiai Wahab Mengeluarkan jurus, jurus yang dipakai begitu unik, dimana ia hanya berdiri mematung dengan sorot mata memandang ke mata Djojo Rebo. Tiba-tiba tubuh Djojo Rebo terempas dan melayang bagai kapas hingga jatuh ke tanah.
.
Kisah-kisah supranatural bertebaran di kalangan NU. Salah satu faktornya adalah karena sebagian kiai nahdliyin ikhlas menjalankan tradisi sufisme. Seperti kata doktor sejarah dan kebudayan Andree Fellard dalam buku NU vis-à-vis Negara, para kiai yang tergabung dalam tarekat memiliki pengaruh yang paling kokoh terhadap masyarakat luas di pesantren ataupun di luar wilayah desanya. Pengaruh yang mereka dapatkan datang dari kepercayaan masyarakat terhadap bakat supranatural yang dimiliki kiai sebagai penyembuh maupun pengusir makhluk halus. Juga sebagai penasihat rumah tangga. Ketersohoran kiai tarekat telah turut mengimbangi memudarnya otoritas ulama dan ahli fikih yang pernah berpindah ke tangan birokrasi.

Kiai dengan kelebihan supranatural masih hadir hingga masa menjelang pergantian abad ke-21. Lora Kholil, 31 tahun adalah kiai muda yang memiliki percikan khoriqul `adah di masa kini. Pamornya itu amat kondang di Situbondo. Bukan hanya karena pengaruh nama besar K.H. As'ad Syamsul `Arifin, ayahanda dan pendiri Pesantren Asembagus Situbondo, tetapi dia sendiri memiliki aura kewibawaan. Berbadan ceking, selalu bersarung dengan surban putih, pengasuh Pesantren Walisongo Situbondo itu berhasil "menaklukkan" ribuan anak jalanan (preman) pada awal 1990-an.

Dari sayap lain, K.H. Ahmad Mustofa Bisri dari Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang, memilih untuk tidak memiliki kelebihan supranatural dengan menekankan tasawuf pada aspek akhlak dan pengolahan interioritas batin. Toh, kekuatan supranatural bisa dipelajari setiap orang (lihat juga: Mukjizat, Mata Ketiga, dan Sains). Juga K.H. Habib Luthfi, seorang ulama tasawuf yang lebih suka menebarkan pesona musikal. Menyikapi kenyentrikan kiai, Gus Dur memberikan contoh terbaik mengagumi yang substansi daripada yang permukaan.

Sumber: muslimmoderat

Pilihan Antara Pemimpin Muslim dan Non-Muslim



Belakangan ini, isu soal kepemimpinan menjadi perbincangan yang ramai di media sosial. Pernyataan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj bahwa pemimpin yang adil, meskipun non-Muslim itu lebih baik daripada pemimpin Muslim tetapi zalim disalahartikan. Potongan pernyataan tersebut disebarkan di media sosial, seolah-olah KH Said Aqil mendukung kepemimpinan non-Muslim, mengingat isu tersebut sedang kencang terkait kepemimpinan di Jakarta yang saat ini dipimpin oleh non-Muslim dan ingin melanjutkan kepemimpinannya untuk periode kedua. Pernyataan tersebut kemudian dijadikan meme dan disandingkan dengan pernyataan pemimpin umat lain bahwa masih banyak pemimpin Muslim yang jujur dan adil. Segera saja, hal ini menimbulkan kegelisahan di kalangan umat Islam.

Apa yang disampaikan oleh KH Said Aqil Siroj tersebut harus dilihat dalam konteksnya, tidak berdiri sendiri dan tidak untuk mendukung kepemimpinan non-Muslim. Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi di mana semua warga negara berhak untuk menjadi pemimpin. Untuk menjadi pemimpin yang baik, syarat utama yang harus dipenuhi adalah kejujuran dan keadilan. Sifat-sifat seperti ini bisa dimiliki oleh penganut agama apa saja, Muslim atau non-Muslim. Tetapi jika ada dua pilihan antara Muslim dan non-Muslim yang memiliki kualifikasi yang sama, tentu pemimpin Muslim yang harus diutamakan. Prinsip seperti ini sudah menjadi keputusan NU dalam Muktamar ke-30 di Pesantren Lirboyo Kediri pada 1999. Apa yang dikatakan oleh KH Said Aqil Siroj juga merujuk pada pernyataan dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang dikutip oleh Ibnu Taimiyah bahwa negara yang adil akan kekal sekalipun ia negara kafir. Sebaliknya negara yang zalim akan binasa sekalipun ia negara Islam.

Kita tentu prihatin dengan upaya mendiskreditkan Ketua Umum PBNU melalui media sosial. Perilaku seperti ini juga menunjukkan sikap tidak islami. Kelompok Islam yang memiliki pandangan bahwa Muslim harus dipimpin oleh Muslim itu merupakan pandangan yang sah, tetapi harus dilakukan dengan mekanisme yang ada. Jika ada non-Muslim yang ternyata dipercaya oleh masyarakat menjadi pemimpin, ini seharusnya menjadi otokritik bagi kelompok pendukung bahwa pemimpin harus Muslim, kenapa tidak berhasil menempatkan tokohnya sebagai pemimpin. Di sini menjadi pertanyaan bagi partai-partai yang menegaskan diri sebagai partai Islam untuk mendudukkan calonnya sebagai pemimpin masyarakat.

Dalam sistem demokrasi, para politisi berusaha menarik simpati dengan menggunakan isu agama, etnis, kelompok dan identitas lainnya. Ini merupakan salah satu sisi buruk dari demokrasi. Jika hal ini tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan benturan atau konflik dalam masyarakat. Kita sendiri saat ini masih belajar bagaimana berdemokrasi dengan baik. Seharusnya, para calon pemimpin menyampaikan visi misinya ke mana umat akan dibawa bukan dengan mengkampanyekan agama, etnisitas, dan identitas kelompok lainnya. Jika ini dilakukan, maka Indonesia akan dipimpin oleh orang-orang terbaik, apapun agamanya, dari manapun sukunya, atau dari manapun kelompoknya. Rakyat juga akan menikmati keberadaan pemimpin yang baik, apapun agama mereka. Dengan sistem demokrasi, India yang mayoritas Hindu pernah memiliki Presiden Muslim, yaitu Abdul Kalam. Di Kanada yang mayoritas non-Muslim Naheed Nenshi berhasil menjadi walikota beragama Islam pertama dan berprestasi sebagai walikota terbaik di dunia. Kita tentu akan semakin bangga jika semakin banyak Muslim yang berkontribusi dalam membangun peradaban di dunia, baik ketika memimpin masyarakat mayoritas Muslim atau non-Muslim.

Berikut saya cantumkan video pernyataan beliau Prof. DR. KH. Said Aqil Siraj


Karena untuk memutar video langsung di blog memerlukan aplikasi lain,maka saya cantumkan juga video dari youtube.Berikut videonya:



Mudah-mudahan informasi ini bermanfaat bagi yang memerlukannya,pesan saya kepada para pembaca "janganlah sekali2 menjudge seseorang,apalagi belum tentu kebenarannya"
Beliau Pemimpin tertinggi Nahdlatul Ulama tidak mungkin mengeluarkan pendapat yang tidak ada dalilnya.


Celothen Cak Nun : Gus Mus Pendekar NU Tulen

Di usia sepuhnya, Gus Mus makin gantheng wajahnya dan makin bening cahaya yang memancar dari wajah itu. Bahkan kulit beliau yang aslinya coklat kini menjadi cenderung kuning-putih. Itu bukan wajah Gus Mus yang kita kenal dalam kebudayaan di bumi. Itu langit.



Sungguh bikin cemburu. Bagaimana hamba Allah satu ini, semua manusia dari Sabang hingga Merauke diam-diam pada bingung, ambruk, kuyu, frustrasi dan putus asa, meskipun ditutup-tutupi ? dia malah makin sumringah hidupnya, wajahnya tersenyum, seluruh wajahnya tersenyum, bukan hanya bibir beliau: benar-benar seluruh wajah beliau, lagak-laku dan output karakter beliau adalah senyuman.

Tiba-tiba muncul makhluk yang bernama Doctor Honoris Causa. Menghampirinya. ‘Ngenger’ kepadanya. Melamarnya untuk menjadi sandangannya. Sudah pasti beliau tersenyum, mengulurkan tangan dan dengan penuh kasih sayang. Menunjukkan sikap menerima, menampungnya, mengakomodasikannya, menggendongnya, mengelus-elusnya.

Jauh di dalam kalbunya Gus Mus mengerti betapa inginnya si Doctor Honoris Causa itu diperkenankan untuk menjadi bagian dari kehidupan Gus Mus. Dan ‘Ma abasa wa ma tawalla, an ja-ahul a’ma…. tak mungkin beliau berpaling, meremehkan dan mengabaikan pengemis yang hina dina sekalipun.

Padahal di dalam doa-doanya, Gus Mus selalu meletakkan semua makhluk lemah itu di shaf terdepan dari aspirasinya. Bahkan jenis hati beliau tidak puas untuk memohon “Ya Allah, sayangilah para pengemis, mudahkanlah kehidupan mereka, limpahilah dengan rizqi-Mu yang luasnya tak terhingga kali seluruh jagat raya”. Bunyi perasaan terdalam beliau agak lebih radikal: “Alangkah mudahnya bagi-Mu ya Allah untuk sejak awal menciptakan pagar-pagar qadla dan qadar agar dalam peradaban ummat manusia tak usah ada pengemis, tak usah ada hamba-hamba yang selemah itu, apalagi sampai dilemahkan, di-pengemis-kan”.

Memang di dalam salah satu cara berpikir tasawuf para pemberi membutuhkan mereka yang diberi. Orang kaya membutuhkan orang miskin, sebab orang miskin adalah jalan memperbanyak pemberian, infaq dan shadaqah. Orang miskin adalah lahan subur untuk menanam kasih sayang. Gus Mus setahu saya tidak turut menikmati bermain logika dan simulasi sosial sufisme. Beliau transenden dari pola-pola adegan itu dengan mempertapakan dambaan cinta alangkah indahnya kehidupan tanpa orang-orang miskin yang meruntuhkan hati dan memeras airmata.

Bahasa gamblangnya: Gus Mus pada dasarnya tidak merasa krasan juga Doctor Honoris Causa melamar-lamar dirinya. Dan lebih sangat “haram mu’aqqad” lagi kalau sampai ada bagian dari kehidupan ini di mana Gus Mus yang melamar gelar Doktor, mendambakannya, mengambisiinya, merakusinya, merindukannya, apalagi sampai menyiapkan uang dalam jumlah sangat besar dalam rangka memperhinakan dirinya.

Lho, apakah gelar Doktor itu hina? O tidak lah yaoo… Ini hanya pernyataan ta’aqqud dan tafaqquh bahwa yang selain Tuhan selalu menjadi jatuh hina jika diperlakukan sebagaimana Tuhan. Hanya Allah yang memiliki maqam untuk didambakan untuk diraih, diserakahi untuk ‘dimiliki’, digadang-gadang serta dicita-citakan untuk bersanding. Selain Allah, bahkanpun Rasulullah, juga seluruh manusia dan alam semesta, cocoknya dicintai, disayang.

Gus Mus menyayangi gelar Doktor beliau, tapi insya Allah tak sampai mencintai. Disayang karena mereka yang memberinya gelar itu juga sangat sayang kepada Gus Mus. Namun tidak sampai mencintai, karena beliau bukan orang bodoh.

Gelar Doktor mencerminkan pencapaian ilmu maksimal pada ukuran mesin berpikir manusia. Tidak sempurna dan belum puncak, dalam arti potensialitas yang dianugerahkan Allah atas daya akal manusia masih menyediakan cakrawala luas dan langit tinggi yang masih amat jauh di luar jangkauan pencapaian peradaban berpikir ummat manusia sampai sekian puluh abad. Sedangkan gelar Proffesor menggambarkan kelulusan komitmen terhadap dunia ilmu dan kesetiaan terhadap tradisi kemuliaan pemeliharan dan penyebaran ilmu. Tafaqquh ‘ilmi wan-tisyaruh.

Itu idiomatik dan simbol dari dunia persekolahan di mana pencarian ilmu di-institusionalisasi-kan, dengan ‘syubhan’ politik dan perdagangan ? tetapi yang terakhir ini tidak menjadi perhatian dalam tulisan ini. Di luar sekolah, masyarakat (Indonesia, Jawa) membangun sendiri idiomatic dan simbol-simbolnya untuk mengukuhkan pencapaian manusia di antara mereka: Kiai, Panembahan, Ki, Begawan, Pendekar, Pandito. Pada tataran yang lebih popular dan sehari-hari muncul symbol: Mbah, Lurah, Danyang, mBahurekso, dst, yang semuanya menggambarkan pengakuan umum atas pencapaian tertentu dari seseorang.

Kalau memang ‘terpaksa’, KH. Mustafa Bisri kita lengkapi saja atributnya: Mbah Lurah Danyang mBahurekso Pandito Begawan Panembahan Ki Kiai Profesor Doktor Mustafa Bisri, dan saya urun nambahi satu tapi tanpa upacara: Karromallohu wajhah…. Karena insyaallah beliau karib dan sehabitat dengan Sayyidina Ali ibn Abi Thalib dalam sejumlah konteks, utamanya ta’aqqudul iman, tafaqquhul ‘ilmi wa ni’matul ma’rifah serta thariqat ‘suwung’, fana’.

Doktor itu kedewasaan ilmu, namun tidak menjamin kematangan mentalitas dan spiritualitas. Bahkan tidak menjanjikan kedewasaan sosial dan kultural. Sedangkan Gus Mus mohon maaf: memiliki semua itu.

Tak akan didengarkan orang kalau ada seorang Doktor berfatwa, sebagaimana kalau KH Mustafa Bisri (andaikan beliau mau) berfatwa. Sebab ‘fatwa’ arti telanjang epistemologisnya adalah kedewasaan yang ‘jangkep’. Doktor masih kedewasaan parsial dan ‘githang’.

Fatwa bukan produk dari rapat sekian ratus Ulama yang naik pesawat dari berbagai propinsi untuk mengacungkan tangan dan meneriakkan “Setuju!” dalam sebuah rapat yang berprosedur demokrasi, penjajagan pendapat untuk mencapai kesepakatan. Atau lebih rendah lagi: pendapat sudah disediakan, dan ratusan Ulama bersegera menyetujuinya karena hal itu merupakan ujung dari suatu eskalasi politik, mobilisasi berpikir dan honorarium. Untuk Indonesia, tradisi semacam itu sudah ma’ruf wa mafhum, dan semua tinggal meng-amin-i.

Sesungguhnya Gus Mus adalah seorang Al-Mufti. Hanya saja beliau terlalu rendah hati. Sekurang-kurangnya Al-Mufti adalah kwalitas dan maqam beliau. Dan kalau beliau hampir tidak pernah menduduki kursi itu dan tidak ‘nyuwuk’ fatwa apa-apa kepada bangsa dan ummat yang tidak mengerti kegelapan (apalagi cahaya) ini, kita orang dusun tahunya barangkali memang beliau tidak memperoleh ‘wangsit’ untuk berfatwa. Allah sendiri menerapkan sifat As-Shobur kepada bangsa Indonesia, Gus Mus nginthil di belakang-Nya.

Dan sungguh saya selalu merasa gatal untuk menggoda Gus Mus, di tengah perjalanan hidup ‘asyik ma’syuk di tengah hutan belantara penuh comberan ini.

Maka sengaja tulisan menyambut penggelaran Doctor Honoris Causa untuk Gus Mus ini saya bikin berlama-lama dan terlambat-lambat. Memang sih ada sejumlah kesibukan, tapi alasan utama saya bukan itu. Motif saya yang sesungguhnya adalah: saya sangat bernafsu menyiksa Gus Mus, saya sangat cemburu pada beliau, dan saya berkhayal berlari kencang mendahului Gus Mus.

Saya buka rahasia pribadi: saya ini seorang penakut bin pengecut. Hidup saya tanpa kekuasaan, baik sebagai warga masyarakat, sebagai suami, sebagai bapak, sebagai lelaki atau sebagai apapun. Itu gara-gara saya tidak memiliki keberanian sedikitpun untuk menyentuh orang lain dengan kehendak saya. Tidak sedikitpun saya berani menyiksa siapapun, baik menyiksa dengan kejahatan maupun dengan kemuliaan, dengan keburukan atau kebaikan, dengan kesalahan maupun kebenaran.

Jangankan menjadi pemimpin Negara atau wakil rakyat, sedangkan menjadi kepala rumahtangga saja saya memilih untuk tidak berkuasa. Saya hanya bagian dari keluarga, bagian dari masyarakat dan Negara. Padahal aslinya di dalam diri saya terdapat nafsu kekuasaan yang meluap-luap, bahkan ada semacam potensi kekejaman yang selama ini saya sembunyikan dengan sangat rapi. Nah, terhadap Gus Mus: saya menemukan peluang sangat besar dan melimpah untuk berkhayal punya kekuasaan dan menyelenggarakan penyiksaanpenyiksaan-penyiksaan semaksimal mungkin.

Sebab saya tahu dan yakin bahwa beliau tak akan marah. Gus Mus tidak memiliki hubungan genetik, kefamilian atau keterkaitan sosial dengan kemarahan. Satu point ini saja sungguh seribu kali lebih penting dan lebih tinggi mencapaian mental maupun ilmiahnya — dibanding seribu gelar doktor kepada beliau. Kalau ada orang marah, itu pasti bukan Gus Mus. Dan kalau para saintis tidak mampu menemukan keterkaitan dialektis antara fenomena marah dengan kosmos ilmu, maka tidak perlu ada Sekolahan, Universitas ataupun Pesantren.

Tapi ya siksaan saya kepada Gus Mus sekedar terbatas pada ulur-ulur waktu jadinya tulisan ini. Celakanya beliau sama sekali tidak marah. Tersiksa sedikitpun tidak. Padahal kalau sampai beliau tersiksa, betapa indah puisi-puisi yang terungkap dari ketersiksaan itu. Gus Mus adalah pendekar kehidupan yang bukan sekedar sanggup menemukan ketenteraman dalam kecemasan, menggali kebahagiaan dari jurang derita, atau menikmati kekayaan di dalam kemiskinan. Lebih dari itu Gus Mus bahkan mampu membuat kegelapan itu tak ada, karena yang ada pada beliau, dan bahkan beliaunya itu sendiri: adalah cahaya.

Kemudian hal cemburu: beliau ini dikejar-kejar dilamar-lamar oleh Doctor Honoris Causa. Sementara saya orang tua sampai hampir batas jatah usia hari ini tak pernah dinantikan orang, apalagi dikejar. Tak menggembirakan orang hadirku dan tak ditangisi orang hilangku. Tak dirindukan oleh siapapun saja kecuali oleh istri dan anak-anakku.

Maka saya dendam kepada Gus Mus. Dan dengan melambat-lambatkan tulisan ini saya bisa membangun khayalan bahwa saya bukan hanya juga berposisi dikejar-kejar, tapi juga ‘GR’ bahwa yang mengejar-ngejar saya adalah orang besar bernama KH Mustafa Bisri. Dan karena saya dikejar oleh Gus Mus, sedangkan Doctor Honoris Causa mengejar Gus Mus, maka saya berada dua langkah di depan Doctor Honoris Causa. Dengan demikian tak mungkin Doctor Honoris Causa akan pernah mampu mencapai lari kencang saya.

Bagi siapapun yang kebetulan membaca tulisan ini, mudah-mudahan menjadi paham kenapa sampai setua ini saya tidak pernah “dadi wong”, tak pernah mencapai apa-apa dan tak pernah menjadi siapa-siapa. Jawabannya sangat gamblang dengan alinea-alinea di atas: saya sudah sangat bergembira cukup bermodalkan khayalan-khayalan semacam itu. Puji Tuhan ada kesempatan untuk membuka rahasia itu, karena hanya Gus Mus yang memiliki keluasan untuk men-senyum-i khayalan-khayalan saya, sementara lainnya selama ini hanya mencibir dan meremehkan saya.

Maka di luar itu semua tentulah saya turut mengucapkan ‘mabruk’ atas penganugerahan gelar Dr. HC kepada Gus Mus, tanpa mempersoalan bahwa – ibarat baju, gelar itu terlalu kecil atau ‘cekak’ untuk Gus Mus. Atau dengan kata lain beliau ? dengan segala kwalitas dan bukti-bukti kesalehan dan kreativitas puluhan tahun hidupnya ? terlalu besar untuk hanya digelari Dr. HC.

Sebenarnya saya sudah menantikan penganugerahan ini 30-40 tahun silam. Atau mungkin malah diperlukan ijtihad untuk mendirikan lembaga gelar yang lebih tinggi derajat mutunya, lebih meluas cerminan jangkauan manfaatnya serta lebih mendalam kasunyatan kekhusyukan komitmennya. Terserah apapun saja nama gelar khusus itu yang kita gunakan untuk menunjukkan kesadaran kita dalam mengapresiasi “Manusia Thawaf” dari Rembang ini.

Tetapi omong-omong qulil haqqa walau kana murran KH Mustafa Bisri sebenarnya juga sama sekali tidak cocok hidup di zaman di mana beliau hidup sekarang ini, di Negeri ajaib yang Gus Mus menangisinya berurai-urai airmata di hadapan Allah sambil hati beliau geli setengah mati dan tertawa terpingkal-pingkal.

Minimal ada satu syarat mendasar yang Gus Mus tidak miliki secuilpun untuk ‘relevan’ hidup di zamannya: tidak punya ambisi, tidak memiliki ‘ananiyah’, tidak punya kesanggupan mental untuk membuang rasa malu, serta terlalu rewel terhadap martabat dan harga diri ke-insan-an beliau. Sistem nilai yang berlaku komprehensif dewasa ini akan tiba pada suatu perkenan sosial dan permisivisme budaya terhadap siapapun untuk bukan hanya memasang gambar wajahnya di jalanan-jalanan atas niat dan inisiatifnya sendiri, melainkan pelan-pelan kelaminnya juga sudah siap untuk diiklankan.

Cocoknya Gus Mus ada di antara para sahabat Rasulullah Muhammad SAW: dolan mengobrol ke kampung-kampung bersama Abu Dzar Al-Ghifari, malamnya majlisan dengan Babul-‘Ilmi, pintu ilmu pngetahuan: Sayyidina Gagah Ganteng Brillian Ali ibn Abi Thalib karromallohu wajhah.

Maka atmosfir peristiwa penggelaran Dr.HC untuk Gus Mus ini saya masuki dengan kegembiraan sebagaimana memasuki pesta setengah “majdzub”. Saya ikut minum anggur rasa syukur yang menggelegak tanpa alasan apapun kecuali menikmati kekayaan “qudroh”nya Allah SWT. Saya melintas ke sana kemari menyapa semua sahabat keindahan dan mengobrol dengan para “mab’utsin” kebenaran dan kebajikan.

Siapa saja yang tak tahan bersegeralah pergi menjauh dari saya. Sebab saya melayang-layang surving diving sampai terkadang terpikir di benak saya NU itu sebaiknya dibagi dua: ada firqoh Nahdloh dan firqoh Ulama. Ketua golongan Nahdloh bolehlah KH Hasyim Muzadi, tapi Ketua Ulamanya harus KH Mustafa Bisri.

Gus Mus memimpin gairah ta’limul ardl wa ma’rifatussama, yang lain silahkan memanfaatkan pengetahuan dan legitimasi langit untuk pengetahuan dan kepentingan di bumi. Harus Gus Mus yang memimpin. Kok harus? Siapa yang mengharuskan? Ya saya sendiri, lha wong ini tulisan saya sendiri. Terwujud dan terjadinya Gus Mus jadi Ketua NU ya cukup dalam diri saya sendiri, karena kalau di kasunyatan NU saya bukan sekedar tidak punya hak apa, tapi juga tidak ada.

Ini tulisan-tulisan saya sendiri, dan yang saya tulis adalah jenis orang yang tidak akan marah atau berbuat apapun meskipun saya tulis bagaimanapun. Jadi saya Ketua-NU-kan dia, kalau perlu seumur hidup. SEUMUR HIDUP.

Dan ini sama sekali bukan soal ambisi atau kerakusan, melainkan berdasar feeling saya dalam hal niteni tradisi sunnah-nya Allah. Manusia dengan kaliber dan kwalitas macam Rasulullah Muhammad SAW oleh Tuhan diselenggarakan atau dilahirkan hanya satu kali selama ada kehidupan. Kalau taruhan tidak haram, saya berani taruhan soal ini.

Jenis Ibrahim AS dan Musa AS bolehlah lima abad sekali. Atau kalaupun saya sebut 10-20 abad juga tak akan pernah ada kemampuan penelitian ilmu manusia untuk membenarkannya atau menyalahkannya. Salahnya sendiri banyak sekolahan ummat manusia berlagak-lagak pinter tapi tidak ada peneliti hal-hal beginian, mana mungkin akan pernah mengenal clue ‘perilaku’ Allah ini.

Lha makhluk yang berperan sebagai Mustafa sesudah Bisri sesudah Mustafa sesudah Bisri entah yang keberapa ini, yang khalayak umum, kelas menengah intelektual sampai institusi Negara menyangka ia adalah Ulama dan Seniman ? tinggal Anda perkirakan maqamnya, keistimewaannya, spesifikasinya, genekologinya, koordinat kosmologisnya. Dilahirkan 75 tahun sekali? 102 tahun sekali? 309 tahun sekali?

Saya tidak mau terjebak oleh adagium “La ya’riful Waly illal Waly”: tak ngerti Wali kecuali Wali. Anda jangan percaya pada rumus yang membuat Anda tersesat menyangka saya mengerti Gus Mus karena saya sekwalitas dan semaqam dengan beliau. Jangan coba-coba memompa kepala saya menjadi besar, sebab saya sudah sangat pusing oleh besar kepala saya. Rumus lebih tepat untuk ini adalah “hanya kekecilan semut yang mampu mengagumi kebesaran gajah”.

Sumber: wartaislami.com

Gus Mus Kecam Media Radikal Sebarkan Fitnah Kepada Mufti Sunni Suriah



Kemarin media sindonews mengambil berita pelintiran dari media Zionis Dailymail yang isinya memfitnah Grand Mufti Aswaja Suriah Syaikh Ahmad Badruddin Hassoun bahwa beliau memfatwakan pembantaian pada rakyat Aleppo (padahal redaksi aslinya Grand Mufti berfatwa untuk memerangi para Teroris kriminal yang menyerang Aleppo). Syaikh Hassoun ini adalah seorang ulama moderat yang sangat lembut dan menjunjung toleransi, bahkan ketika salah satu putranya tewas dibunuh teroris ia memberi maaf dengan jiwa besar.

Media-media Takfiri yang sudah terkenal kefasiqannya seperti media radikal portalpiyungan dan lain-lain segera memblow-up berita fitnah tersebut. Tidak perlu heran, karena mereka memang punya spesialisasi dalam menyebar fitnah kepada siapapun, bahkan sang ulama besar Ahlusunnah yang merupakan sahabat Gus Mus dan juga penasihat dekat Presiden Bashar al Assad ini pun tak selamat dari fitnah keji mereka.

 Terima kasih Gus Mus karena sudah angkat bicara membela Syaikh Ahmad Badruddin Hassoun yang difitnah secara keji oleh para Takfiri. Demi Allah, kami merasa lebih aman berdiri bersamamu daripada bersama para Takfiri terkutuk yang tidak bisa hidup tanpa menebar fitnah. (SFA)

Sumber: Akun Fanpage Ahmad Zainul Muttaqin


Denny Siregar, HTI, Khilafah! Banser Kok Dilawan



Sesama muslim itu bersaudara. Begitu jargon yang selalu didengung-dengungkankan kaum gagal nalar ketika mereka merasa tersudutkan. Jargon itu seperti pohon besar tempat mereka berlindung di baliknya dan menari sambil nyanyi khas pelem india.

Buat mereka -komunitas kurang piknik itu- yang dimaksud “Muslim” adalah golongan. Padahal arti muslim itu adalah “orang yang berserah diri kepada Allah”. Kalau mengikuti arti sebenarnya kata ” muslim” itu, maka berat sekali pengertiannya. Mereka ga akan sanggup, jadi lebih baik main klaim drpd sibuk menjalankannya. Memangnya siapa yang sanggup “berserah diri kepada Allah”? Saya aja ngeri kalau meng-klaim bahwa saya “Muslim”. Hiii.. Ga kuat boookk. 


Nah, ketika kata “Muslim” diartikan dengan begitu dangkal, kering dan tanpa makna, maka yang paling instan adalah mengartikannya dalam bentuk golongan. Imam Ali as mengatakan  “Mereka yang akal-nya melemah, kebanggaan dirinya menguat.” Jadi karena tidak paham makna, si berbie tanpa kepala karena sering pucing itu, lebih senang membangga2kan golongan karena itu yg lebih mudah terlihat.

Inilah senjata terakhir mereka ketika mereka tersudut. Terutama pada situasi sekarang, dimana Hizbut Tahrir Indonesia atau HTI sedang disudutkan oleh Banser NU yang “menghajar” ideologi mereka yang anti Pancasila.


Situasi yang panas terjadi di Jember, ketika Banser bangkit dan mencopoti spanduk-spanduk khilafah. Buat Banser, Pancasila adalah harga mati dan siapapun yang mencoba merongrongnya, maka ia harus dihadapi.

Banser vs HTI? Ya melorotlah celana HTI.. 

Lucu juga HTI ini. Mereka sibuk mencela PKI, tapi ideologi mereka yang ingin mengganti Pancasila dengan sistem khilafah, apa bedanya ma PKI? Kalau mereka tetap ngotot untuk mengganti Pancasila dengan khilafah, ya mereka harus terima resiko untuk berhadapan dengan mereka yang menjadikan Pancasila ini sebagai ideologi negara.

Karena itu, tidak usah pakai jargon “sesama muslim bersaudara..” Ini bukan masalah saudara, ini masalah keutuhan NKRI. Penghianat tidak pantas dijuluki sebagai saudara… Mereka adalah musuh dalam selimut. Dan sekarang mereka terang-terangan.

Banser.. Kuangkat secangkir kopi…. LAWAN !

Dan yang berbahaya saat ini kelompok Takfiri, Wahabi semakin gencar menyerang pemerintahan Jokowi yang jelas-jelas berseberangan pandangan politiknya dengan Israel, Saudi dan sebagian Negara barat. Mereka menggunkan segala daya dan upaya untuk kacaukan Indonesia. #SaveIndonesia, #SaveNKRI. (SFA)

Sumber: salafynews.com

Turjuman Al-Mustafid, Tafsir Karya Ulama Aceh Terbit di Turki


Gambar di samping adalah halaman pertama dari naskah kitab tafsir “Turjuman al-Mustafid” karangan Syaikh ‘Abd al-Rauf as-Sinkili al-Jawi, seorang ulama Nusantara asal Aceh di abad ke-12 H/17 M (w. 1105 H/ 1693 M). Naskah ini merupakan edisi cetakan Maktabah Utsmaniyah, Istanbul, dengan tahun cetak 1884 M.
Turjuman al-Mustafid” merupakan kitab tafsir al-Qur’an pertama dan terlengkap yang ditulis di dunia Melayu, dalam bahasa Melayu, dan oleh seorang ulama Melayu-Nusantara (Aceh). Bahasa Melayu adalah lingua-franca yang digunakan di kawasan Asia Tenggara pada masa itu.
Meski demikian, “Turjuman al-Mustafid” sebenarnya lebih merupakan terjemahan (setidaknya resepsi) dari kitab “Tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil” atau yang dikenal dengan “Tafsir al-Baidhawi” karangan al-Qadhi al-Baidhawi (w. 685 H/ 1286 M), sebuah kitab tafsir legendaris yang banyak tersebar dan dijadikan rujukan utama di dunia Sunni (di dunia Mu’tazilah ada Tafsir al-Kasysyaf karangan al-Zamakhsyari, w. 538 H/ 1143 M).
Kenyataan di atas ditegaskan oleh tulisan yang terdapat di atas kalimat pembuka “basmalah” pada halaman naskah di atas, yaitu: إنيله تفسير البيضاوي “inilah tafsir al-baidhawi”. Sementara itu, di sampul naskah kitab edisi tersebut, juga terdapat tulisan sebagai berikut:
"ترجمان المستفيد في تفسير القرآن المجيد يغ دترجمهكن دغن بهاس ملايو يغ دأمبيل ستنه معنان درفد تفسير البيضاوي"
(Turjuman al-Mustafid fi Tafsir al-Quran al-Majid yang diterjemahkan dengan bahasa Melayu yang diambil setengah ma’nanya daripada Tafsir al-Baidhawi).
*****
‘Abd al-Rauf as-Sinkili sendiri sezaman dengan Yusuf al-Makassari, ‘Abd al-Syakur al-Bantani, dan ‘Abd al-Muhyi al-Jawi (Pamijahan)—para ulama Jawi (Nusantara) yang sama-sama belajar di Haramayn kepada Syaikh Ibrahim al-Kurani (w. 1101 H/ 1689 M), seorang cendekiawan sentral dunia Islam asal Kurdi yang berkiprah di Madinah.
‘Abd al-Rauf didaulat sebagai qadi (hakim agung) sekaligus mufti Kerajaan Aceh di masa pemerintahan Ratu Shafiyatuddin dan Ratu Kamalatuddin. Ia banyak mengarang kitab dalam pelbagai bidang ilmu keislaman. Mayoritas karya-karya tersebut, meski menggunakan judul berbahasa Arab, namun isinya ditulis menggunakan Bahasa Melayu aksara Arab. “Turjuman al-Mustafid” adalah karya al-Sinkili yang paling populer.
Tahun cetak naskah “Turjuman al-Mustafid” pada 1884 M sekaligus tempat dicetaknya di Istanbul, setidaknya menunjukkan beberapa hal penting.
Pertama, kitab tersebut terus digunakan sebagai kitab acuan dan pegangan tafsir al-Qur’an oleh masyarakat Muslim Nusantara selama berabad-abad lamanya (dikarang di medio abad ke-17 M, dan dicetak di akhir abad ke-19 M). Sebelum dicetak di Istanbul, kitab tersebut terlebih dahulu diedit oleh tiga orang ulama Nusantara asal Pattani dan Kelantan, yaitu Ahmad al-Fathani, Idris al-Kalantani, dan Dawud al-Fathani.
Kedua, kitab tersebut dicetak di Istanbul, ibu kota Kekhilafahan Islam. Besar kemungkinan kitab tersebut juga terdistribusikan sekaligus menjadi pegangan para santri asal Nusatara yang tengah belajar di Mekkah-Madinah (Hijaz), Kairo (Azhar), dan Istanbul. Keempat kota itu pada masa tersebut masih tersatukan sebagai kota-kota provinsi Kekhalifahan Usmaniyah.
Ketiga, masih kuatnya jaringan intelektual Islam antara Nusantara, Haramayn, Kairo, dan Istanbul pada masa itu (abad ke-19 M). Pada masa al-Sinkili (abad ke-17 M), mahaguru ulama Nusantara di Haramayn adalah Syaikh Ibrahim al-Kurani, maka di masa dicetaknya kitab tersebut (abad ke-19 M), mahaguru ulama Nusantara di Haramayn adalah Syaikh Ahmad Zaini Dahlan dan Syaikh Nawawi al-Bantani, sementara di Kairo adalah Syaikh Ibrahin al-Baijuri (sayap tradisionalis) dan Syaikh Muhammad Abduh (sayap modernis). Sayangnya, jaringan intelektual Nusantara-Istanbul pada masa itu masih belum terlacak. (A. Ginanjar Sya’ban)

Sumber: nu.or.id

'Wajah Nusantara' Esok Hari



(1) ‘Ibu Sejarah’ Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) rakyat dari ratusan Keraton-Keraton di Kepulauan Nusantara, serta seluruh ummat manusia yang menghuni hamparan Bumi Nusantara – yang kemudian menyebut dirinya Bangsa Indonesia.

(2) ‘Bapak Sejarah’ NKRI adalah mozaik Keraton-Keraton se-Nusantara yang pada momentum surutnya penjajahan Belanda merelakan dirinya untuk melebur menjadi sebuah kesatuan dan ‘melantik’ ‘Putra Sejarah’ mereka yang bernama NKRI dan Bangsa Indonesia.

(3) Bangsa Indonesia secara resmi harfiah adalah bangsa yang lahir pada 17 Agustus 1945, tetapi secara substansial-historis adalah bangsa yang melahirkan Kutai, Mataram Hindu, Sriwijaya, Medang, Kahuripan, Jenggala, Kediri, Singosari, Majapahit, Padjajaran, Samudra Pasai, Demak, Pajang, Tanjungpura, Mataram Islam, Gowa, Bone, Ternate, Tidore, Bacan, Darmasraya, Pagaruyung, Cirebon, Banten, Martapura, Bendahulu, Klungkung, Bima dll. Itu hanya yang dikenal: bisa jadi bangsa kita ber-induk jauh lebih tua dari yang tercatat oleh sejarah. Bahkan belum bisa dipastikan bahwa Induk Bangsa kita ‘harus’ lebih muda dari Nabi Ibrahim AS (yang anak turun beliau memegang kekuasaan dan keuangan global dunia abad 20-21 sekarang ini). Bahkan belum bisa dibantah bahwa Induk Bangsa kita lebih tua dibanding Nabi Nuh AS.

(4) Kita yang berkumpul dalam Maulid Agung Rasulullah Muhammad SAW di Kesultanan Kadriah Pontianak malam ini adalah sekaligus ‘Ibu’, ‘Bapak’ dan ‘Anak’. Salah satu perjuangan kita adalah mengupayakan dan memastikan bahwa kita bukan Bapak-Ibu yang sok berjasa dan ingin mengambil kekuasaan kembali. Sambil mengusahakan sikap bahwa kita bukan Anak durhaka, yang menjalankan kehidupan dengan membuang Ibu-Bapaknya, yang ‘nikah’ dengan ‘Dewi Demokrasi’ untuk menjadi budak dan jajahannya secara bodoh.

(5) NKRI dibangun atau disangga bangunannya oleh Lima Pilar:
Rakyat
Angkatan Bersenjata
Kaum Intelektual
Kekuatan Adat
Kekuatan Agama
Orla dipimpin kekuasaan Pilar-3 berpusat pada Bung Karno.

Orba dikuasai oleh Pilar-2 dengan mendayagunakan secara aktif Pilar-3, mengekspoitasi secara terbatas Pilar-4 dan memanipulasi Pilar-5.

Era Reformasi dikuasai oleh Pilar-3 yang berpusat pada Parlemen, menganak-tirikan Pilar-2, dan belum memiliki kecerdasan sejarah untuk mengakomodasikan Pilar-4, serta meneruskan eksploitasi dan manipulasi atas Pilar-5.

Kita sedang berada di depan pintu gerbang sejarah untuk mempersatukan kembali “Ibu Bapak Anak” itu dengan perenungan dan kecerdasan dari tingkat sangkan-paran penciptaan, teologi, filosofi, pelahiran pemahaman sosial, hingga ke konstitusi tentang ‘Wajah Nusantara’ esok hari.

(6) Mulai saat ini hingga 7-8 tahun ke depan merupakan final ujian Tuhan dan sejarah bagi Bangsa Besar Induk sangat banyak bangsa-bangsa di muka bumi, untuk melahirkan kembali “Garuda” yang perkasa, indah dan arif, untuk Bangkit pada 100 tahun kedua, atau hancur total di puncak derita.

Shollu ‘ala Muhammad!

Muhammad Ainun Nadjib